KETIKA PERMENDIKBUD NOMOR 63 TAHUN 2014 DICABUT: Beberapa Sudut Pandang

oleh:

Dr. Sungkowo Soetopo, M.Pd., M.Sn. Kepala Puslitbang Gerakan Pramuka Kwartir Daerah Sumatra Selatan

I

Informasi dicabutnya Permendikbud Nomor 63 Tahun 2014 yang mewajibkan pendidikan kepramukaan menjadi kegiatan ekstrakurikuler wajib di satuan pendidikan mendapat sambutan yang berbeda. Dari lapangan  diperoleh tiga sudut pandang, yaitu: (1) menerima dengan suka cita pencabutan itu, (2) tidak suka dengan pencabutan itu, dan (3) biasa-biasa saja.

II

Mereka yang menerima pencabutan ini sudah dapat dipastikan bersuka cita. Betapa tidak! Permen ini menjadi beban bagi mereka. Kata wajib bermakna harus dilaksanakan, sementara itu mereka tidak mempunyai piranti yang lengkap untuk melaksanakannya. Piranti yang dimaksud adalah sumber daya insani, pembina yang berkualifikasi,  yang akan menjadi penggerak kegiatan ini dan pedoman praktis untuk menjalankan regulasi itu.

Ada beban yang sukar dipertanggungjawabkan dunia akhirat. Pertanggungjawaban dunia muncul ketika para wali kelas harus mengisikan nilai EWPK di laporan pendidikan peserta didiknya.

Perhatikan ilustrasi berikut!   (kejadian ini terjadi ketika orang tua memeriksa buku laporan pendidikan anaknya)
Orang tua:(membuka halaman yang berisi nilai mata pelajaran dan melihat ada nilai kepramukaan ) bertanya:”Adek melok kegiatan pramuka?” ‘Adik mengikuti kegiatan pramuka?’
Anak:(Menjawab dengan tenang), “Idak  Yah.” ‘Tidak Yah.’
Orang tua:“Ini ngapo ado  nilai pramuka?” ‘Ini mengapa ada nilai pramuka?’. Tanya sang Ayah heran.  

Sang Ayah heran ada nilai ekstrakurikuler wajib di laporan pendidikan anaknya. Sedangkan anaknya tidak ikut serta dalam kegiatan itu.  Situasi di atas terjadi karena ada syarat yang harus dipenuhi oleh peserta didik untuk EWPK. Nilai EWPK harus baik.  Jika tidak, peserta didik tidak naik kelas. Akan menjadi masalah baru ketika peserta didik secara akademis telah mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) dan peserta didik itu tidak naik kelas karena nilai EWPK tidak mencapai ketentuan dalam Permendikbud itu. Sementara itu, peserta didik ini tidak ikut EWPK karena sekolahnya tidak menyelenggarakan kegiatan ini. Yang menjadi pertanyaan adalah: “Dari mana asal muasal nilai  EWPK yang dituliskan di dalam laporan pendidikan peserta didik?”  Jawabannya hanya satu kata.  Nembak ‘menembak’, bukan menebak.

Ini yang akan membuat guru bingung mempertanggungjawabkannya ketika ada wali peserta didik bertanya ikhwal munculnya nilai itu. Meskipun ini kecil sekali kemungkinannya. Kemungkinan yang dapat dipastikan akan dipertanyakan wali peserta didik apabila anaknya tidak naik kelas padahal secara akademis ia telah mencapai KKM.

Guru harus mempertanggungjawabkannya di akhirat, ketika mereka tidak menjalankan amanat kurikulum. Sampai sejauh itukah? Mengapa tidak? Bagi mereka yang beriman,  kurikulum adalah amanat yang harus  disampaikan oleh tenaga pendidik untuk perserta didiknya. Kurikulum menuntut tenaga pendidik menyampaikan pendidikan di sekolah sesuai dengan kurikulum. Tenaga pendidik harus menjalankan amanat itu. Jika tidak, artinya ia tidak amanah. Bila ia mengimani bahwa  hal ini akan dipertanggungjawabkan kelak di hari akhir, pastilah ini akan menjadi beban bagi dirinya.

Oleh karena itu, kelompok ini menyambut dengan suka cita Permen ini dicabut karena mereka akan terlepas dari kewajiban.

III

Sudut pandang ke dua, mereka tidak  suka ketika mendengar ‘kabar’ EWPK dihapuskan. Mereka yang dengan susah payah meyakinkan peserta didiknya dan termasuk meyakinkan orang tua peserta didik  bahwa EWPK itu sangat berguna tiba-tiba EWPK dikabarkan dihapus. Di dalam  kelompok ini biasanya ada orang-orang ‘pembina’ yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan kepramukaan. Dengan Permen ini pembina mendapat dukungan dari pemerintah.  Mereka mempunyai kekuatan hukum, meskipun sebenarnya sudah ada Undang-undang yang lebih kuat untuk melaksanakan kegiatan kepramukaan. Akan tetapi, dengan pernyataan wajib yang tertera dalam  Permen itu, semakin membuat mereka lebih percaya diri.

Dapat dipastikan pula,  di sini ada sosok kamabigus yang secara organisatoris menjalankan fungsinya sebagai mabigus  yang sejalan dengan yang dijalankan oleh pembina. Kamabigus yang menjalankan fungsinya sebagai majelis pembimbing gugus depan, memberikan bantuan organisatoris, finansial, dan manajerial.

Mereka merasakan usahanya sia-sia. Hal ini dapat dipahami. Betapa tidak, di tengah-tengah orang memahami bahwa organisasi ini bersifat suka rela  mereka ditanyai mengapa pramuka jadi wajib. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan sebagian peserta didik yang tidak berminat kepada kegiatan kepramukaan. Mereka berjuang tanpa lelah dan terus berkegiatan. Dengan berbagai kiat dan strategi terus melakukan kegiatan sesuai dengan yang mereka yakini bahwa kegiatan kepramukan sangat berguna.

IV

Yang bersudut pandang biasa-biasa saja, sebenarnya tidak banyak. Tetapi, tampaknya mereka memang tidak dapat berkomentar ketika ketika ada ‘kabar’ EWPK dihapuskan. Selama ini, kegiatan kepramukaan di satuan pendidiknya berjalan biasa-biasa saja. Dengan permen dan tanpa permen kegiatan kepramukaan tetap berjalan.

Sejatinya sudut pandang ini yang diperlukan. Mereka tidak terusik dengan ‘kabar’ EWPK dicabut. Karena selama ini mereka melaksanakan kegiatan kepramukaan berpegang pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga  Gerakan Pramuka (AD dan ART). Dari awal munculnya AD dan ART hingga sekarang, dapat dipastikan tujuan, sifat, prinsip dasar, dan metode kepramukaan tidak berubah tepatnya relatif tetap.

Tujuan Gerakan  Pramuka  membentuk pramuka yang berkepribadian (sebutkan saja  yang baik-baik) dan berjiwa Pancasila setia kepada NKRI (sebutkan saja semua yang berbau nasiolisme). Sifatnya antara lain suka rela dan tidak berpolitik praktis. Prinsip dasar Gerakan Pramuka adalah iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, peduli terhadap bangsa, negara, lingkungan dan diri sendiri, serta taat pada kode kehormatan pramuka. Semua kegiatan menggunakan metode belajar yang integratif dan progresif. Itulah yang menjadi panduan mereka membina peserta didik.

V

Mengakhiri tulisan ini, saya hanya hendak mengajak siapa saja yang membaca tulisan ini  marilah kita sikapi kabar pencabutan EWKP itu dengan rasional. Tidak dengan emosional.

Jika Anda (sebagai tenaga pendidik) bersudut pandangan ‘suka’ dengan pencabutan EWKP ini mari jawab pertanyaan berikut.

Perlukah peserta didik memperoleh kegiatan ekstra selain kegiatan kurikuler? Jika jawaban Anda tidak perlu,  berarti seharusnya Anda minta dipindahtugaskan bukan sebagai tenaga pendidik. Karena pada dasarnya tenaga pendidik di satuan pendidikan tugasnya bukan hanya mengajarkan mata pelajaran saja. Mereka harus membekali peserta didiknya keterampilan nonakademis yang kelak dapat digunakan berdampingan dengan pengetahuan akademisnya di masyarakat.

Kegiatan ektrakurikuler apa yang materinya paling banyak? Anda yang memandang EMKP tidak perlu pasti akan menjawab ‘tidak tahu’. Untuk itu saya beri tahu.  Ekstrakurikuler  yang materinya paling banyak adalah  ekstrakurikuler  pendidikan kepramukaan: antrara lain palang merah remaja, pasukan pengibar bendera, baris-berbaris, pengembaraan, perkemahan, cinta alam, kerohanian, kelompok ilmiah remaja, kerohanian,  dan bakti sosial.  

Sebuah contoh, setiap kegiatan penjelajahan, peserta biasanya diminta mencari dan mengumpulkan daun yang dapat digunakan sebagai obat-obatan. Kegiatan ini dapat dijadikan  kegiatan ilmiah. Malangnya, kegiatan itu hanya sebatas mencari dan mengumpulkan. Peserta tidak diminta mencari tahu lebih jauh tentang dedaunan yang dikumpulkan itu, misalnya: nama daun, bahasa latinnya, deskripsinya: bentuk, mungkin baunya, atau rasanya. Karena keterbatasan kemampuan pembina, maka kegiatan ini hanya dianggap sebagai syarat bahwa peserta sudah menjalankan perintah dalam kegiatan penjelajahan itu.

Sebuah contoh lagi, kegiatan perkemahan yang sudah sangat akrab di dunia kepanduan, ternyata dijadikan sebagai kegiatan mahal oleh Roberta “Bobbi” DePorter. Bobbi adalah salah satu pendiri program SuperCamp. Kegiatan ini menjadi kegiatan yang menarik dan menantang dan diminati oleh pandu, termasuk pramuka dan nonpramuka. Melalui perkemahan banyak pembelajaran yang dapat diperoleh peserta didik. Peserta didik dapat saling mengenal lebih dalam karakter temannya. Pengalaman sesosif  (spiritual, emosional, sosial, dan fisik) lengkap akan mereka peroleh melalui kegiatan ini dan tidak semua kegiatan ektrakurikuler di satuan pendidikan memberikan materi seperti di ekstrakurikuler pendidikan kepramukaan.

Ketika kita tidak dapat menjalankan Permen ini, sebenarnya bukan Permennya yang diganti, tetapi perangkat yang dapat membuat  Permen itu berjalan  yang harus dilengkapi. Semua pemangku kepentingan diberikan pemahaman tentang Permen itu. Petunjuk operasionalnya dibuat. Contoh pelaksanaan dalam bentuk video akan sangat mendukung pelaksanaan Permen itu. Yang tidak kalah pentingnya, penghargaan bagi satuan pendidikan yang telah menjalankan Permen itu.

Untuk kelompok yang bersudut pandang tidak suka EWKP dicabut harus diberi penghargaan. Lengkapi piranti pendukung yang diperlukan seperti yang telah dikemukan pada paragraf terdahulu. Jangan biarkan kelompok ini bergerak sendiri. Beri dukungan maksimal.

Kelompok yang tidak terusik dengan kabar akan dicabutnya EWKP adalah kelompok yang  benar-benar memandang kegiatan pendidikan kepramukaan sebagai tempat pengabdian. Orang-orang di sini (pembina) sudah menjadikan gerakan pramuka sebagai ‘istri/suami  pertama’ (maaf jika analogi ini tidak tepat). Mereka ‘gembira untuk dapat berguna’ (teman-teman yang menjadi anggota Gerakan Pramuka sejak tahun 60-an pasti masih ingat). Orang yang baik adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain, tampaknya menjadi pegangan mereka berkegiatan di organisasi yang tidak berbayar ini. Jika ada yang membayar untuk mereka itu bonus  dari Allah, karena hadiahnya akan mereka peroleh di akhirat, bagi yang melaksanakan  pendidikan ini karena Allah.

Kelompok yang bersudut pandang seperti ini patut diapresiasi dan perlu dicurahi perhatian. Di tangan mereka Gerakan Pramuka akan tetap ada. Yang menjadi pertanyaan masih adakah mereka yang bersudut pandang seperti ini? Jawabnya ada.  Gerakan Pramuka hingga saat ini masih tetap ada  karena masih ada orang-orang seperti mereka. Mereka berkegiatan sepi ing pamrih (tanpa pamrih), rame ing gawe (banyak kerja).

Akhirnya, apapun aturannya tetaplah memandu untuk anak bangsa. Palembang, hari-hari terakhir  Ramadan 2024

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *